Aku mulai menulis ini sesaat setelah aku berpamitan padamu
untuk segera tidur. Bukan berarti aku membohongimu. Sejujurnya aku juga ingin
segera tidur, tapi,, mata ini masih enggan terpejam. Hati ini masih bergejolak.
Terlebih pikiran ini, belum mau berhenti memikirkan tentang kamu, tentang kita,
dan tentang kehidupan kita mendatang.
Wahai Kamu,,
Pernahkah terbesit di fikiranmu dahulu, bahwa kita akan
berakhir seperti ini? Kita yang pernah dekat, kita yang pernah saling mencinta,
kita yang kemudian saling menjauh, kita yang memutuskan untuk sekedar menjadi teman,
dan kita yang kini sedang membicarakan soal persiapan pernikahan? Jujur,, aku
masih takjub dengan alur yang telah Tuhan pilihkan. Aku masih tak percaya, jika
kamu yang akhirnya harus menggenapiku. Kamu yang akhirnya harus memaklumi
setiap labilnya sikapku. Kamu yang akhirnya harus menyeka air mataku karena
sifat baperku yang sering kelewatan. Kamu juga tidak pernah menyangka kan
sayang ?
Wahai Kamu Calon Pendampingku,,
Aku sering tersenyum mengingat-ingat tentang kita dahulu.
Dimana kita sering menghabiskan waktu bersama hanya dengan mendengarkan
lagu-lagu yang sedang hits, menonton kartun favoritku, atau hanya sekedar
mengobrol santai ngalor-ngidul tanpa judul. Kita juga saling mengkhawatirkan,
saling mendukung, diam-diam saling merindu, dan sialnya saling takut
kehilangan. Hanya saja, saat itu, mungkin pikiran kita masih terlalu bocah
untuk yakin bahwa itu cinta.
Lalu apa yang terjadi? Kita pura-pura merasa tidak cocok,
sering bertengkar hanya karena hal-hal sepele, dan menjaga gengsi. Bodohnya
kita selalu merasa bahwa pasti ada orang di luar sana yang lebih baik untuk
kita. Aku menganggap bahwa masih ada pelukan yang jauh lebih mengayomi
ketimbang pelukanmu, dan kau juga menganggap bahwa masih ada senyum yang jauh
lebih tulus dari yang pernah ku berikan. Lalu kita tenggelam dalam kesibukkan
menemukan belahan jiwa sesuai ekspektasi kita masing-masing. Sekuat tenaga
mencari dan lupa untuk menjadi. Meskipun demikian kita akhirnya mendapatkan yang sesuai
dengan keinginan kita pada masa itu. Konyolnya lagi, kita saling menceritakan kebahagiaan
kita dengan pasangan masing-masing.
Sampai pada akhirnya, topeng yang dikenakan oleh mereka yang
kita puja-puja itu jatuh. Dan kita sekuat tenaga tetap mempertahankan citra
kita masing-masing sebagai pasangan ideal. Tak peduli seberapa sakitnya hati
menahan, tak menghiraukan bahwa kita harus menipu diri sendiri. Asalkan aku tetap
bisa menggenggam tangannya dan kau tetap membersamainya.
Tapi sekeras apapun kita berusaha, kita tetap tak bisa
melawan takdir Tuhan. Dia-lah yang paling berkuasa di atas segalanya, termasuk
atas diri kita. Aku masih ingat betapa terpuruknya aku ketika harus dengan
paksa melepaskan cinta yang mati-matian ku pertahankan. Mungkin kau juga pernah
demikian dengan wanita yang pernah kau bersamai. Tapi aku bersyukur kau ada di
saat-saat sulit itu. Ya, lebih tepatnya kita sama-sama saling menguatkan. Hanya
saja, kita masih enggan untuk berhenti mencari.
Dan hari demi haripun berlalu. Bulan demi bulan berganti. Aku
tetap saja sendiri. Dan kau, tetap saja enggan memantapkan hati. Kita sama-sama
betah menyandang status single. Bukan berarti tidak laku. Tapi karena seperti
yang pernah ku katakan tadi, bahwa ekspektasi kita terlalu tinggi tentang
pasangan hidup. Atau mungkin, ini memang jalan-Nya. Kita dibiarkan sendiri agar
bisa introspeksi diri.
Nyatanya banyak hal yang berubah di pikiranku dalam
memandang cinta dan pernikahan. Aku tak lagi sibuk mencari, namun sibuk
menjadi. Bahkan aku tak sempat memikirkan cinta. Aku hanya ingin jadi lebih
baik untuk diriku, keluarga, dan Tuhan. Nampaknya, kau juga demikian. Kau
bahkan lebih rajin beribadah dibandingkan diriku bukan ?
Sampai akhirnya takdir kembali mempertemukan kita. Hanya
dalam sebuah pertemuan & obrolan singkat, akhirnya keputusan besar itu
terlahir. Ya,, kita akan menikah. Tanpa
kata romantis, tanpa perlu merayu dan tanpa bertele-tele, kau tiba-tiba
mengatakan, “aku akan menikah denganmu.”
Seandainya kau tahu perasaanku saat itu. Seandainya kau
melihat lebih lama ke dalam mataku. Kau akan menjumpai banyak kembang api
layaknya pesta tahun baru. Atau semacam pesta lampion yang
sering dibilang banyak orang romantis
itu.
Sayang,, aku sungguh bahagia. Di titik itu aku baru
menyadari bahwa selama ini aku mencari terlalu jauh. Aku bahkan melupakan kata kunci dalam sebuah hubungan, yakni
“nyaman”. Padahal kenyamanan itu sudah sejak lama aku dapatkan dari dirimu.
Bersamamu aku tak
pernah berusaha menjadi orang lain. Aku adalah aku yang hobi nonton film kartun
anak-anak sambil tertawa terbahak-bahak. Aku adalah aku yang mudah baper. Aku
adalah aku yang sering keras kepala. Tak pernah aku menutupi sesuatu
terhadapmu. Kecuali cintaku. Cinta yang telah lama bersarang di hatiku. Ah
bukan, aku tidak menutupi. Bahkan aku tidak paham bahwa itu cinta.
Terlepas dari apapun Sayang,, Aku amat sangat bahagia
kembali menemukanmu. Kelak, kita akan punya banyak waktu untuk tenggelam dalam
tawa karena film-film kartun yang lucu. Kita akan menikmati bersama minuman
favorit kita, capucino sesering yang kita mau. Kita bisa terus saling bercerita
tentang hidup.
Jangan khawatir bila saat ini kita masih compang-camping
penuh kekurangan. Baik dalam hal materi dan kematangan jiwa. Kita akan belajar
bersama, saling mendukung, saling mengisi, saling menguatkan. Mungkin akan ada
saja sedikit pertengkaran-pertengkaran kecil di antara kita, tapi itu hanyalah
bumbu penyedap agar kisah kita tidak pernah hambar dan membosankan.
Belahan jiwaku,,, Kamu,, yang tak pernah semilipun kuragukan
untuk menjadi teman menghabiskan usia senjaku,, semoga Tuhan selalu memberikan
ridhonya hingga akhir nanti. Dan kelak, kita akan kembali dipertemukan di
Surga-Nya, masih sebagai sepasang kekasih halal. Aamiin,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar